Hari itu dunia berjalan seperti biasa. Matahari terbit dari timur, orang-orang bergegas pergi bekerja, pedagang sayur tetap berjualan di depan rumah, dan anak-anak berlarian menuju sekolah. Tak ada yang berubah. Seakan tak terjadi apa-apa.

Padahal, baru kemarin seseorang pergi untuk selamanya. Sebuah rumah kehilangan penghuninya, sebuah keluarga merasakan kesedihan paling pedih. Namun bagi dunia, kepergian seseorang hanyalah angin lalu. Tidak ada yang benar-benar berhenti. Kehidupan terus berputar.

Jika direnungkan, betapa kecilnya keberadaan kita di alam semesta yang luas ini. Kita hanyalah debu kosmik yang melayang sejenak sebelum akhirnya hilang tanpa jejak.

Setelah kita tiada, bumi tetap berputar, bintang tetap bersinar, dan dunia tetap melangkah maju tanpa menoleh ke belakang. Lalu, untuk apa kita hidup? Apa arti dari semua ini?

Hidup yang Tidak Terlalu Berarti

Sebuah kenyataan pahit yang sulit diterima: kita tidak sepenting yang kita kira. Hari-hari kita dipenuhi rutinitas yang terus berulang. Bekerja, makan, tidur, dan berharap esok akan lebih baik. Namun di mata semesta, keberadaan kita tak lebih dari sekadar riak kecil di lautan luas.

Coba ingat orang-orang yang telah tiada. Berapa lama kita mengingat mereka? Seminggu? Sebulan? Mungkin setahun, sebelum akhirnya hanya menjadi nama yang tertulis di batu nisan. Hidup terus berjalan, dan lambat laun dunia melupakan mereka.

Lantas, apakah berarti kita hidup tanpa tujuan? Apakah kita hanya sekadar eksis lalu hilang begitu saja?

Makna Hidup yang Sebenarnya

Bahagia bermain ayunan - kehidupan (unsplash.com/Noah Silliman)
Bahagia bermain ayunan – kehidupan (unsplash.com/Noah Silliman)

Jika kita melihat hidup sebagai sesuatu yang fana, maka segalanya memang terasa hampa. Tetapi mungkin makna hidup bukanlah tentang seberapa lama kita diingat, melainkan bagaimana kita diingat.

Bukan tentang seberapa besar nama kita tertulis dalam sejarah, tetapi tentang jejak kecil yang kita tinggalkan dalam kehidupan orang lain. Apakah kita akan diingat sebagai seseorang yang membantu orang lain? Atau justru sebagai sosok yang hanya mementingkan dirinya sendiri?

Kita tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi setelah kita pergi. Namun, kita bisa menentukan bagaimana kita hidup saat ini. Kita bisa memilih untuk menjadi seseorang yang membuat hidup orang lain lebih baik, meskipun hanya dengan senyuman, kata-kata baik, atau bantuan kecil yang tulus.

Kita Harus Hidup Seperti Apa?

Seorang pemuda yang baru lulus kuliah berjalan menyusuri pantai di sebuah desa nelayan yang terpencil. Ia baru saja meninggalkan hiruk-pikuk kota dan ingin mencari makna hidup yang lebih dalam. Di kepalanya, berputar berbagai pertanyaan tentang masa depan, ambisi, dan kesuksesan.

Di bawah pohon kelapa yang rindang, ia melihat seorang pria paruh baya duduk santai di kursi bambu, menikmati angin sore sambil menyesap kopi hitam dari cangkir tanah liat. Di depannya, tampak hasil tangkapan ikan segar yang baru saja ia bawa pulang. Sesekali pria itu menatap laut dengan tatapan tenang, seolah sedang berbincang dengan ombak.

Pemuda itu menghampiri dan membuka percakapan, “Pak, tangkapannya bagus sekali hari ini. Setiap hari seperti ini, ya?”

Pria itu tersenyum, mengangguk pelan. “Iya, cukup untuk makan dan sedikit dijual. Laut selalu memberi rezeki yang cukup.”

Pemuda itu duduk di atas pasir, menatap ikan-ikan segar yang terhampar di atas jaring. Setelah beberapa saat berpikir, ia bertanya, “Pak, kenapa Bapak tidak menangkap lebih banyak ikan? Bukankah dengan begitu Bapak bisa mendapatkan lebih banyak uang?”

Pria itu tersenyum tipis dan menjawab, “Nak, ikan yang saya tangkap ini sudah cukup untuk kebutuhan keluarga saya hari ini. Lalu, buat apa saya harus menangkap lebih banyak?”

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau Bapak menangkap lebih banyak ikan, Bapak bisa menjualnya, mendapatkan uang lebih banyak, lalu bisa membeli kapal yang lebih besar. Setelah itu, Bapak bisa merekrut orang lain untuk membantu menangkap ikan lebih banyak lagi. Seiring waktu, Bapak bisa membuka usaha perikanan, memiliki armada kapal, dan akhirnya menjadi pengusaha sukses!”

Pria itu masih tersenyum, lalu bertanya sambil menyeruput kopinya, “Setelah saya sukses, lalu apa yang akan saya lakukan?”

Pemuda itu berpikir sejenak dan berkata, “Bapak bisa pensiun, menikmati hidup, bersantai di pantai seperti ini, minum kopi, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.”

Pria itu tertawa kecil, menatap pemuda itu dengan mata penuh kebijaksanaan, lalu berkata, “Tapi Nak, bukankah itu yang sedang saya lakukan sekarang?”

Makna Hidup Tak Selalu Rumit

Manga Attack on Titan Chapter 137

Apa yang Akan Kita Tinggalkan?

Pada akhirnya, hidup bukanlah tentang seberapa panjang umur kita, tetapi tentang dampak yang kita berikan. Tak perlu serakah untuk mengubah dunia, ubah saja diri kita seperti yang kita mau.

Orang lain tidak akan selamanya mengingat namamu tapi paling tidak mereka akan mengingatmu sebagaimana engkau dulu. Apakah kita dikenang sebagai pecundang? Pembual, pemberani, pencuri, atau sekadar teman yang asik? Semua persepsi itu dibentuk melalui tindakan semasa kita hidup.

Dalam umur yang singkat ini, yang bahkan seakan tidak berarti di mata semesta. Tapi di mata mereka yang pernah kita sentuh, kebaikan yang kita lakukan akan tetap hidup. Mungkin, itulah makna hidup yang sesungguhnya: bukan tentang eksistensi kita, tetapi tentang bagaimana kita memberikan dampak bagi sesama.

Dan ketika akhirnya kita pergi, dunia memang akan tetap berjalan seperti biasa. Tukang sayur masih berjualan seperti biasa, tetangga masih pergi bekerja, orang lain tetap sibuk dengan pikiran masing-masing.

Nikmatilah hidupmu, buatlah arti hidupmu sendiri seperti apa yang kau inginkan untuk dikenang setelah mati.

Write A Comment